Pages

Selasa, 10 Juni 2014

Rakyat dan Tuhan, Dimana Suaranya? (Catatan Buat In-demokratis)



Rakyat dan Tuhan, Dimana Suaranya?
(Catatan Buat In-demokratis)
Oleh: La Arcan
(Ketua Umum HMI- MPO  Komisariat Bulan Sabit,Kota Kendari)

102_2962.JPG
Pada umumnya, masyarakat Indonesia telah menggunakan  istilah suara rakyat suara tuhan sehingga  istilah ini menjdi familiar  dikalangan masyarakat secara luas. Istilahnya dalam bahasa latin “vox populi vox dei yang artinya suara rakyat adalah suara tuhan. Suara rakyatlah yang menentukan pesta perpolitikan  bangsa ini.
Olehnya itu tindakan dan keputusan hakim harus mencerminkan keadilan demi terwujudnya masyarakat aman dan sejahtera. Sikap dan tindakan inilah yang merupakan represintasi daripada suara tuhan. Agar kemudian keputusan hakim bisa mendekati dan bahkan sama dengan keadilan yang sesungguhnya. Kemudian para pengadil itu harus mereka paham akan suara rakyat. Paling tidak, keputusan hakim ini harus mendekati kehendak dan suara masyarakat banyak.
Dalam konteks inilah suara rakyat dianggap sebaga penyampai kehendak illahi. Pengadil yang membawa aspirasi masyarakat luas harus bernuansa adil, objektif,  dan berpihak kepada kebutuhan dan harapan masyrakat banyak.
Pada saat ini, istilah suara rakyat adalah suara tuhan lebih menempel kepanggung politik. Kehendak suara rakyat mayoritas akan sangat menentukan proses politik atau Pemilu. Maka tidak ada kekuatan lain yang secara moral bisa membendungnya.
Alasan inilah sehingga proses politik  bangsa ini yang notabenenya melibatkan seluruh masyarakat secara langsung dianggap sebagai sesuatu yang ideal. Jika proses atau keputusan politik itu disampaikan kepada perwakilan yang sering kali bersifat transaksional pragmatis maka itu dianggap tak sesuai dengan kehendak rakyat apalagi suara tuhan. Karena akan melahirkan perwakilan rakyat yang serba berpikir untung rugi. Artinya, ia hanya menuntut keseimbangan antara “apa yang dikeluarkan” dan “apa yang dihasilkan” . hasilnya aspirasi rakyatpun diabaikan, semua (biasanya) sibuk membincang agenda proyek yang berbuntut pada keuntungan pribadi. Bukan aspirasi yang di kedepankan, apalagi melahirkan amandemen Undang – Undang (UU) yang berpihak.
Transendensi politik pun hanya berkutat pada lingkaran janji dan slogan – slogan kompanye. Mana ada suara tuhan itu? Yang ada hanya bisik lirih syahwat kekuasaan. Pelan tapi pasti menguras waktu lima tahun. Bayangkan berapa APBN yang terbuang habis untuk wakil rakyat yang lupa diri itu. Benarlah apa yang diucapkan Sigmund Freud dalam psikoanalisanya,salah satu hal yang digilai manusia adalah berburu kekuasaan.
Sejatinya trias politica sebagaimana struktur demokratis kekuasaan adalah melayani rakyat sebagai demos dalam negara. Ketergantungan (depedensi) kuasa politik untuk keuntungan bukan demokrasi tapi tirani.
Disinilah letaknya kita butuh transfusi darah segar, meminjam istilah Murtadha Muthahari. Yakni wakil rakyat yang cerdas secara gagasan dan profesioanal dalam sikap. Hanya ini obatnya yang mengatasi demokrasi yang kurang stamina. Inilah suara tuhan dalam demokrasi, yang tidak menepati adalah munafikun.  
            Saya percaya bahwa demokrasi murapakan solusi bagi bangsa indonesia yang dimana demokrasi tidak bertentangan dengan ajaran islam. Karena substansi dari demokrasi itu sendiri adalah suara dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga dengan musyawarahlah melahirkan pemimpin akuntabel, dan bertanggung jawab. 
            Saya melihat bahwa metode demokrasi sekarang ini terlalu berneko – neko, dan tidak konsisten. Kemudian dari jumlah partai sudah begitu banyak sehingga dengan banyaknya partai hanya akan menguras uang negara. Saya pikir di Indonesia tidak usah terlalu banyak partai, cukuplah 2 (dua) atau 3 (tiga) partai. Dengan sedikitnya partai, itu lebih elegan dan efesien untuk memanage sistem pemerintahan di Indonesia. Tidak membuang – buang waktu dan juga tidak membuang – buang uang. Dengan sedikitnya  partai akan melahirkan pemimpin atau wakil rakyat yang ideal sehingga negara indonesia akan menjadi negara maju, mandiri, dan aman sentosa.
Demokrasi yang dipraktekan dewasa ini belum menyentuh keinginan masyarakat banyak, juga belum terlalu ideal bahkan jauh dari panggang. Tetapi dengan penyerdehanaan partai politik tentunya akan melahirkan partai politik yang bersih dan mau bekerja sama untuk kemudian berpihak kepada masyarakat banyak, bukan memperjuangkan kepentingan kelompok apalagi pribadi. Kita melihat di negara – negara yang sudah maju. Seperti Amerika, Cina, Inggris, dan Australia.
Indonesia sudah mengalami tiga transisi politik pemerintahan kepemimpinan dari Orde Lama (ORLA), Orde Baru (ORBA), dan Reformasi. Dan belum menyentuh keinginan masyarakat, semuai itu disebabkan carut – marutnya sistem pemerintahan yang tidak elok, dan demokrasi yang tidak sehat sehingga masyarakat yang menjadi tameng dari kaum elit yakni mereka – mereka yang duduk di kursi emas. Ironisnya mereka raja – raja yang mementingkan pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Dan masyarakat di abaikan, ibarat ayam kehilangan induknya.
Sekarang ini, kita dihadapkan dengan jaman reformasi. Dimana jaman global ini menuntut kita untuk kemudian kita rumuskan secara gampang untuk kemudian menurunkan ideologi pancasila dari tataran pemikiran, doktriner, dan pandangan hidup, sehingga menjadi realitas nyata dalam berbangsa dan bernegara. Dan marilah kita kembalikan negara indonesia kepada 5 (lima) sila pancasila yang dimana saya melihat bahwa lima sila sangat cocok untuk dijadikan sebagai acuan, referensi, dan pedoman sebagai warga negara indonesia.
Kita kembali merefleksi kepemimpinan nabi Saw. Yang dimana beliau memimpin masyarakat sebagai rasul dan pemimpin negara. Nabi Muhammad Saw menunjukan dan memperlihatkan musyawarah yang baik kepada sahabatnya untuk menentukan strategi peperangan yang akan dihadapi. Demikian juga setelah nabi Muhammad Saw, wafat, kita juga di beri contoh tentang pelaksanaan penentuan pengganti Nabi yang dilakukan melalui musyawarah. Sebagai warga negara indonesia, seharusnya kita berdemokrasi dengan benar sesuai dengan amanah UUD 1945. 
Saya melihat bahwa demokrasi merupakan buatan manusia sehingga demokrasi kotemporer ini pincang bahkan saya bisa katakan bahwa demokrasi tidak sempurna. Namun bolong – bolong demokrasi itu, justru dapat diisi dengan pandangan, wawasan, dan nilai – nilai agama, maka demokrasi harus berhenti. Itulah menurut pemahaman saya mengenai demokrasi sesuai Al-Quran.