Pages

Jumat, 06 Juni 2014

Rakyat Dan Tuhan, Dimana Suaranya

Rakyat dan Tuhan, Dimana Suaranya?
(Catatan Buat In-demokratis) 
Oleh: La Arcan
(Ketua Umum HMI- MPO  Komisariat Bulan Sabit,Kota Kendari)


Pada umumnya, masyarakat Indonesia telah menggunakan  istilah suara rakyat suara tuhan sehingga  istilah ini menjdi familiar  dikalangan masyarakat secara luas. Istilahnya dalam bahasa latin “vox populi vox dei”  yang artinya suara rakyat adalah suara tuhan. Suara rakyatlah yang menentukan pesta perpolitikan  bangsa ini.
Olehnya itu tindakan dan keputusan hakim harus mencerminkan keadilan demi terwujudnya masyarakat aman dan sejahtera. Sikap dan tindakan inilah yang merupakan represintasi daripada suara tuhan. Agar kemudian keputusan hakim bisa mendekati dan bahkan sama dengan keadilan yang sesungguhnya. Kemudian para pengadil itu harus mereka paham akan suara rakyat. Paling tidak, keputusan hakim ini harus mendekati kehendak dan suara masyarakat banyak.
Dalam konteks inilah suara rakyat dianggap sebaga penyampai kehendak illahi. Pengadil yang membawa aspirasi masyarakat luas harus bernuansa adil, objektif,  dan berpihak kepada kebutuhan dan harapan masyrakat banyak.
Pada saat ini, istilah suara rakyat adalah suara tuhan lebih menempel kepanggung politik. Kehendak suara rakyat mayoritas akan sangat menentukan proses politik atau Pemilu. Maka tidak ada kekuatan lain yang secara moral bisa membendungnya.
Alasan inilah sehingga proses politik  bangsa ini yang notabenenya melibatkan seluruh masyarakat secara langsung dianggap sebagai sesuatu yang ideal. Jika proses atau keputusan politik itu disampaikan kepada perwakilan yang sering kali bersifat transaksional pragmatis maka itu dianggap tak sesuai dengan kehendak rakyat apalagi suara tuhan. Karena akan melahirkan perwakilan rakyat yang serba berpikir untung rugi. Artinya, ia hanya menuntut keseimbangan antara “apa yang dikeluarkan” dan “apa yang dihasilkan” . hasilnya aspirasi rakyatpun diabaikan, semua (biasanya) sibuk membincang agenda proyek yang berbuntut pada keuntungan pribadi. Bukan aspirasi yang di kedepankan, apalagi melahirkan amandemen Undang – Undang (UU) yang berpihak.
Transendensi politik pun hanya berkutat pada lingkaran janji dan slogan – slogan kompanye. Mana ada suara tuhan itu? Yang ada hanya bisik lirih syahwat kekuasaan. Pelan tapi pasti menguras waktu lima tahun. Bayangkan berapa APBN yang terbuang habis untuk wakil rakyat yang lupa diri itu. Benarlah apa yang diucapkan Sigmund Freud dalam psikoanalisanya,salah satu hal yang digilai manusia adalah berburu kekuasaan.
Sejatinya trias politica sebagaimana struktur demokratis kekuasaan adalah melayani rakyat sebagai demos dalam negara. Ketergantungan (depedensi) kuasa politik untuk keuntungan bukan demokrasi tapi tirani.
Disinilah letaknya kita butuh transfusi darah segar, meminjam istilah Murtadha Muthahari. Yakni wakil rakyat yang cerdas secara gagasan dan profesioanal dalam sikap. Hanya ini obatnya yang mengatasi demokrasi yang kurang stamina. Inilah suara tuhan dalam demokrasi, yang tidak menepati adalah munafikun.