Pentingnya Memahami Makna dan Hikmah Halal bi Halal
Berbicara Halal bi Halal
berarti kita berbicara bagaimana kita menyatukan persepsi kita menuju
masyarakat yang di ridhoi oleh Allah SWT. “Minal
Aidin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin.” Untaian kalimat itu
yang paling banyak terdengar ketika momentum Idul Fitri. Alhamdulillah, Lebaran
telah tiba dan proses halal bihalal sudah berlangsung.
Bagi
kita Umat Islam, Idul Fitri bukan sekadar perayaan ritual semata. Idul Fitri
yang memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian
menjadi momentum yang berbahagia. Bagaimana tidak, di saat Idul Fitri,
sebagaimana diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci, Umat Islam
lahir ‘kembali’ seorang manusia yang tidak dibebani dosa apapun. Bagaikan
kelahiran seorang anak, yang diibaratkan secarik kertas putih.
Jika kita kembali
pada sejarah Islam, sejak zaman Rasulullah SAW, sahabat, para tabi’ dan tabi’
tabi’in bahkan hingga saat ini, maka kita tidak akan mendapatkan istilah Halal
bi Halal kecuali Silatu Rahim. Meskipun Istilah Halal bi Halal ini berasal dari
bahasa Arab yang berarti “Halal dengan yang halal” atau “sama-sama saling
menghalalkan” atau kadang pula diartikan dengan “saling maaf memaafkan/saling
menghalalkan dosa masing-masing” namun terdapat kerancuan pemahaman di kalangan
orang Arab itu sendiri (ashab al-lughah) terhadap penggunaan dan maksud dari
istilah ini. Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut
halal-bihalal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air Indonesia
khususnya umat islam di seluruh penjuru dunia, dan telah menjadi tradisi di
negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan
sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang. Kata halal
memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti ‘diperkenankan’. Dalam pengertian
pertama ini, kata halal adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti
“baikâ”. Dalam pengertian kedua, kata “halal” terkait dengan status
kelayakan sebuah makanan.
Dalam
pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari
Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang
selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam
konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang
telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman. Menurut Dr. Quraish
Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala
yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317).
Dalam
pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari
Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang
selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam
konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang
telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman. Menurut Dr. Quraish
Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala
yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317).
Pada ayat ini, telah
mengisyaratkan akan adanya sifat pemaaf, yang kemudian pada ayat 237 surah Al-Baqarah disebutkan bahwa :
“Dan jika kamu memaafkan, maka hal itu lebih
dekat kepada takw”
Memaafkan orang lain
sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh baginda Rasulullah SAW di awal
dakwahnya, bahkan beliau mendoakan mereka yang ingkar dan telah melukainya di
saat Jibril as meminta kepadanya untuk memohon balasan atau azab Allah bagi
mereka, merupakan suatu kesabaran dan keteguhan hati dalam meningkatkan
ketakwaan kepada Allah SWT. Hal senada pun akan dijumpai dalam berpuasa pada
bulan Ramadhan, dimana dengan berpuasa akan melatih kesabaran dan membentuk
keperibadian dalam meraih tujuan utama dari puasa yaitu:
Agar kamu bertakwa” (QS.Al-Baqarah:183)
Sehingga para ulama
yang menyebarkan islam di Indonesia, di saat menjawab pertanyaan-pertanyaan
orang awam tentang perbedaan Silatur Rahmi pada hari-hari biasa dan pada hari
Ied, mereka lebih menyederhanakan perbedaan tersebut dengan Istilah baru yaitu
Halal bi Halal, yang dapat berarti bahwa bersilatur rahmi di hari biasa boleh
jadi Haram bi Halal atau orang yang menjalin hubungan telah berbuat salah dan
dalam keadaan biasa-biasa saja terlebih lagi di Indonesia, ungkapan silatur
rahmi lebih diterjemahkan dengan sekedar berziarah. Sedangkan bersilatur rahmi
setelah Ied merupakan refleksi dari pembentukkan keperibadian di saat berpuasa
sehingga orang yang menjalin dan dijalin silatur rahmi dalam keadaan suci,
sadar dan ikhlas untuk memaafkan dan dimaafkan serta memperbaiki hubungan yang
telah kusut.
Makna dari Halal bi Halal ini akan lebih bermakna jika puasa yang dilakukan benar-benar sempurna dan mampu meraih tujuan utama dari puasa itu sendiri yaitu meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah SWT. Karena Rasulullah SAW bersabda :
Makna dari Halal bi Halal ini akan lebih bermakna jika puasa yang dilakukan benar-benar sempurna dan mampu meraih tujuan utama dari puasa itu sendiri yaitu meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah SWT. Karena Rasulullah SAW bersabda :
“Banyak sekali orang yang berpuasa namun tidak
mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar” (HR.Nasai, Ibnu Majah dan
Al-Hakim).
Hal ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan dan kesadaran akan niat dan tujuan dalam berpuasa. Jika
kita ingin melakukan perjalanan ke suatu tempat, mislanya dari Ambon menuju
Jakarta, maka niat kita bukan sekedar berangkat ke Jakarta dan tujuan kita
bukan semata-mata karena ingin sampai atau tiba di bandara maupun pelabuhan
yang ada di Jakarta, melainkan masih banyak tujuan-tujuan utama lainnya yaitu
ingin mengagumi kemegahan kota metropolitan, bersilatur rahmi dengan sanak
saudara, berbelanja ataupun berekreasi dan bertamasya. Begitu pula halnya
dengan berpuasa, dimana niat berpuasa bukan sekedar melaksanakan kewajiban
sebagai seorang muslim, malu dengan tetangga atau takut dihina. Dan tujuan
berpuasa bukan karena ingin sampai dan tiba di pelabuhan idul fitri saja melainkan
masih banyak tujuan utama lainnya yang akan menjadikan kita sebagai orang yang
bertakwa.
Kesadaran akan niat dan tujuan inilah yang akan mendukung pelaksanaan puasa guna membentuk keperibadian yang sebelumnya mati rasa menjadi sensitive dalam merasa dan memperoleh banyak bekal lahir maupun batin sebagai tabungan di tempat tujuan. Di saat tiba di pelabuhan Idul Fitri, begitu kaget dan tercengan akan kebesaran, kemegahan dan kemuliaan Allah SWT seraya bertakbir :
Kesadaran akan niat dan tujuan inilah yang akan mendukung pelaksanaan puasa guna membentuk keperibadian yang sebelumnya mati rasa menjadi sensitive dalam merasa dan memperoleh banyak bekal lahir maupun batin sebagai tabungan di tempat tujuan. Di saat tiba di pelabuhan Idul Fitri, begitu kaget dan tercengan akan kebesaran, kemegahan dan kemuliaan Allah SWT seraya bertakbir :
“Maha besar Allah, Maha besar Allah, Maha
besar Allah bagi-Mu segala puji”
Pujian yang bukan sekedar lantuman nada melainkan pujian hakiki yang muncul dari dalam diri yang senantiasa akan membuat orang semakin betah dan bergegas mencari sanak saudara untuk bersilatu rahmi.
Kalimat Silatu Rahmi tersusun dari dua kata yaitu Shilah yang berarti “Hubungan” dan Rahmi yang berarti “Kerabat”, “Rahim dimana janin berada” atau “Kasih sayang”. Secara harfiah, Silatu Rahmi berarti “menjalin hubungan tali kekerabatan” atau “menjalin hubungan kasih sayang”. Secara istilah, oleh Al-Maraghi mendefinisikannya dengan menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan secara sungguh-sungguh karena Allah SWT. Sebagaimana firmannya dalam Surah Ar-Ra’d:21 :
Pujian yang bukan sekedar lantuman nada melainkan pujian hakiki yang muncul dari dalam diri yang senantiasa akan membuat orang semakin betah dan bergegas mencari sanak saudara untuk bersilatu rahmi.
Kalimat Silatu Rahmi tersusun dari dua kata yaitu Shilah yang berarti “Hubungan” dan Rahmi yang berarti “Kerabat”, “Rahim dimana janin berada” atau “Kasih sayang”. Secara harfiah, Silatu Rahmi berarti “menjalin hubungan tali kekerabatan” atau “menjalin hubungan kasih sayang”. Secara istilah, oleh Al-Maraghi mendefinisikannya dengan menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan secara sungguh-sungguh karena Allah SWT. Sebagaimana firmannya dalam Surah Ar-Ra’d:21 :
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan
takut kepada hisab yang buruk”.
As-Shiddiqi dalam Al-Islam, membagi Silatu Rahmi kepada dua bagian, Silatu Rahmi umum dan Silatu Rahmi khusus.
As-Shiddiqi dalam Al-Islam, membagi Silatu Rahmi kepada dua bagian, Silatu Rahmi umum dan Silatu Rahmi khusus.
Silatu Rahmi umum
yaitu silatu rahmi kepada siapa saja, seagama maupun tidak seagama, kerabat dan
bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan adalah: menghubungi,
mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur, berbuat baik dan hal-hal yang bersifat
kemanusiaan. Silatu rahmi ini di sebut juga dengan silatu rahmi kemanusiaan.
Silatu Rahmi khusus yaitu silatu rahmi kepada kerabat dan kepada yang seagama yaitu dengan cara membantunya dengan harta, tenaga, menolong dan menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemudharatan yang menimpa serta berdoa dan membimbing agamanya.
Dengan bersilatur rahmi, maka akan timbul rasa kasih sayang diantara sesama, dan kasih sayang ini akan menyempurnakan keimanan. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
Silatu Rahmi khusus yaitu silatu rahmi kepada kerabat dan kepada yang seagama yaitu dengan cara membantunya dengan harta, tenaga, menolong dan menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemudharatan yang menimpa serta berdoa dan membimbing agamanya.
Dengan bersilatur rahmi, maka akan timbul rasa kasih sayang diantara sesama, dan kasih sayang ini akan menyempurnakan keimanan. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian
benar-benar beriman, dan kalian tidak akan sampai meraih keimanan dengan benar
sampai kalian saling mencintai dan mengasihi diantara sesama, maukah aku
tunjukkan suatu perkara apabila kalian laksanakan maka kalian akan saling
mencintai dan mengasihi “sebarkanlah salam diantara kalian” (HR.Muslim).
Hadis ini menunjukkan akan pentingnya Silatu Rahmi meskipun dimulai dengan hal yang dianggap remeh dan mudah yaitu dengan mengucapkan salam dan tegur sapa yang akan melahirkan keakraban dan kepedulian terhadap sesama. Meskipun mudah namun kadang sulit untuk diterapkan, padahal Rasulullah SAW bersabda :
Hadis ini menunjukkan akan pentingnya Silatu Rahmi meskipun dimulai dengan hal yang dianggap remeh dan mudah yaitu dengan mengucapkan salam dan tegur sapa yang akan melahirkan keakraban dan kepedulian terhadap sesama. Meskipun mudah namun kadang sulit untuk diterapkan, padahal Rasulullah SAW bersabda :
“Kebaikan yang paling
cepat balasannya adalah berbuat kebaikan dan silatu rahmi”
Sungguh agung dan mulia ajaran Islam yang menyeru ummat islam untuk saling kenal mengenal dan menjalin hubungan persaudaraan dan menggalakkan sikap peduli terhadap sesama. Dan islam pun mengunci kuat pintu-pintu konflik dan menutup rapat potensi permusuhan.sebagaimana dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mengancam orang-orang yang memutuskan tali silatu rahmi :
Sungguh agung dan mulia ajaran Islam yang menyeru ummat islam untuk saling kenal mengenal dan menjalin hubungan persaudaraan dan menggalakkan sikap peduli terhadap sesama. Dan islam pun mengunci kuat pintu-pintu konflik dan menutup rapat potensi permusuhan.sebagaimana dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW mengancam orang-orang yang memutuskan tali silatu rahmi :
“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan
tali silatu rahmi” (HR.Muslim).Dan :
“Barang siapa yang bertengkar dengan
saudaranya melebihi tiga hari maka tidak akan diterima amal keduanya hingga
keduanya rujuk kembali dan yang pertama rujuk adalah yang paling baik”
Kesemua itu
menunjukkan bahwa amal dan peribadatan seorang hamba tidak akan sempurna tanpa
memperbaiki hubungan silatu rahmi. Dengan kata lain, hubungan antara Allah dan
seorang hamba (hablun minallah) akan sempurna jika hamba itu menjaga dan
menjalin hubungan antar sesama (hablun minannas).
Dengan bersilatur
rahmi akan menyempurnakan keimanan kepada Allah SWT, terutama jika silatu rahmi
yang dijalin benar-benar atas dasar saling menghalalkan dosa-dosa/memaafkan
masing-masing dengan ikhlas. Maka bekal atau modal yang telah kita peroleh
selama bulan ramadhan tidak berkurang, bahkan telah mendapatkan bantuan
teman/kerabat yang akan mengantar berbelanja bukan sebatas pada kebutuhan
primer seperti shalat wajib dan puasa wajib saja, melainkan mampu memborong
barang-barang kebutuhan sekunder dan lux seperti shalat sunnah dan sebagainya.
Dan akan menjadi orang yang benar-benar menikmati tamasya dan rekreasi di
akherat kelak.
Adanya perbedaan
penyebutan antara Silatu Rahmi pada hari biasa dan Ied yang lebih dikenal di
Indonesia dengan Halal bi Halal disebabkan pula oleh kemuliaan bulan Ramadhan
sebagai penghormatan terhadap keutamaan dan kelebihan, serta bulan Syawal
sebagai bulan bertambah dan meningkatnya amal dan bonus atau discount untuk
menutupi kekurangan yang ada pada bulan Ramadhan dengan berpuasa selama 6
(enam) hari di bulan syawal. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan
kemudian diikuti dengan berpuasa selama enam hari di bulan Syawal, maka ia
telah berpuasa selama satu tahun penuh. (HR.Muslim).
Semoga segala
kekurangan amal perbuatan pada bulan Ramadhan dapat tertutupi dan ditingkatkan
di bulan Syawal ini dengan Silatu Rahmi ataupun Halal bi Halal serta meningkatkan
amal ibadah lainnya demi menyempurnakan keimanan menjadi insan kamil yang
benar-benar bertakwa kepada Allah SWT.
`Untuk
menambah keyakinan kita, ada baiknya kita membaca kisah khalifah Umar.
Dikisahkan, pada suatu malam di bulan Ramadan, Umar mengajak pembantunya
berkeliling kota. Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada
satu rumah yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik Umar
mendatanginya. Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis
karena kelelahan. Mengapa anak itu menangis terus, sakitkah? Tanya Umar bin
Khattab. Ibu anak itu menjawab, “Tidak, dia menangis karena kelaparan.” Umar
melihat di dalam ada tungku yang menyala di atasnya ada kuali yang menandakan
si ibu sedang memasak. Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si
ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri isinya. Betapa
terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu batu. “Mengapa ibu merebus batu?”
Tanya Umar. Ibu itu menjawab, “Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak
dan berhenti menangis. Itu yang dapat saya lakukan sampai tuan datang.” Terharu
Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan menggeleng sedih. Saat itu pembantunya
mengatakan, “Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu dapat
mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?” Langsung Ibu itu
menjawab,
“Andai di kota ini ada seorang Khalifah, maka
dialah yang seharusnya datang kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya
yang kelaparan.”
Mendengar
ucapan itu Umar bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak
pembantunya mengambil sepikul gandum. Umar pun memanggul sendiri gandum untuk
rakyatnya yang sedang kelaparan. Kisah itu menggambarkan betapa kokohnya
spiritual seorang pemimpin (Umar) dan seorang rakyat jelata (ibu) yang miskin
tetapi memelihara prinsip tawaru atau menjaga diri dari sikap meminta-minta. Di
sisi lain, ada kekuatan spiritual seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali
kelalaiannya melayani rakyat. Sebagai umat Islam yang hidup di zaman modern,
kita berharap agar nilai-nilai yang dijalankan Khalifah Umar bin Khattab masih
dapat dijalankan oleh para pemimpin di negeri ini yang mayoritas berpenduduk
Islam. Kita juga berharap, ketika kita benar-benar menjadi pemimpin umat kelak,
dapat memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya rakyat yang tengah dilanda
kelaparan dan kesusahan. Dengan berpuasa, kita berharap dapat meningkatkan rasa
kepekaan terhadap kondisi sosial. Sebagai manifestasi kesalehan individual dan
sosial, puasa menjadi sangat penting ketika mampu menciptakan kondisi kondusif
untuk terjadinya perubahan demi terciptanya masyarakat yang egaliter, toleran,
dinamis dan beradab. Dan, orang yang mampu menciptakan masyarakat seperti itu
sudah mendekati ambang puasa ideal.