Rakyat dan Tuhan, Dimana Suaranya?
(Catatan Buat In-demokratis)
Oleh: La Arcan
(Ketua Umum HMI- MPO Komisariat Bulan Sabit,Kota Kendari)
Pada
umumnya, masyarakat Indonesia telah menggunakan istilah suara rakyat suara tuhan sehingga istilah ini menjdi familiar dikalangan masyarakat secara luas. Istilahnya
dalam bahasa latin “vox populi vox dei”
yang
artinya suara rakyat adalah suara tuhan. Suara rakyatlah yang menentukan pesta
perpolitikan bangsa ini.
Olehnya
itu tindakan dan keputusan hakim harus mencerminkan keadilan demi terwujudnya
masyarakat aman dan sejahtera. Sikap dan tindakan inilah yang merupakan
represintasi daripada suara tuhan. Agar kemudian keputusan hakim bisa mendekati
dan bahkan sama dengan keadilan yang sesungguhnya. Kemudian para pengadil itu
harus mereka paham akan suara rakyat. Paling tidak, keputusan hakim ini harus
mendekati kehendak dan suara masyarakat banyak.
Dalam
konteks inilah suara rakyat dianggap sebaga penyampai kehendak illahi. Pengadil
yang membawa aspirasi masyarakat luas harus bernuansa adil, objektif, dan berpihak kepada kebutuhan dan harapan
masyrakat banyak.
Pada
saat ini, istilah suara rakyat adalah suara tuhan lebih menempel kepanggung
politik. Kehendak suara rakyat mayoritas akan sangat menentukan proses politik
atau Pemilu. Maka tidak ada kekuatan lain yang secara moral bisa membendungnya.
Alasan
inilah sehingga proses politik bangsa
ini yang notabenenya melibatkan seluruh masyarakat secara langsung dianggap
sebagai sesuatu yang ideal. Jika proses atau keputusan politik itu disampaikan
kepada perwakilan yang sering kali bersifat transaksional pragmatis maka itu
dianggap tak sesuai dengan kehendak rakyat apalagi suara tuhan. Karena akan
melahirkan perwakilan rakyat yang serba berpikir untung rugi. Artinya, ia hanya
menuntut keseimbangan antara “apa yang dikeluarkan” dan “apa yang dihasilkan” .
hasilnya aspirasi rakyatpun diabaikan, semua (biasanya) sibuk membincang agenda
proyek yang berbuntut pada keuntungan pribadi. Bukan aspirasi yang di kedepankan,
apalagi melahirkan amandemen Undang – Undang (UU) yang berpihak.
Transendensi
politik pun hanya berkutat pada lingkaran janji dan slogan – slogan kompanye.
Mana ada suara tuhan itu? Yang ada hanya bisik lirih syahwat kekuasaan. Pelan
tapi pasti menguras waktu lima tahun. Bayangkan berapa APBN yang terbuang habis
untuk wakil rakyat yang lupa diri itu. Benarlah apa yang diucapkan Sigmund
Freud dalam psikoanalisanya,salah satu hal yang digilai manusia adalah berburu
kekuasaan.
Sejatinya
trias politica sebagaimana struktur demokratis kekuasaan adalah melayani rakyat
sebagai demos dalam negara. Ketergantungan (depedensi) kuasa politik untuk
keuntungan bukan demokrasi tapi tirani.
Disinilah
letaknya kita butuh transfusi darah segar, meminjam istilah Murtadha Muthahari.
Yakni wakil rakyat yang cerdas secara gagasan dan profesioanal dalam sikap.
Hanya ini obatnya yang mengatasi demokrasi yang kurang stamina. Inilah suara
tuhan dalam demokrasi, yang tidak menepati adalah munafikun.
Saya percaya bahwa demokrasi murapakan
solusi bagi bangsa indonesia yang dimana demokrasi tidak bertentangan dengan
ajaran islam. Karena substansi dari demokrasi itu sendiri adalah suara dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga dengan musyawarahlah melahirkan
pemimpin akuntabel, dan bertanggung jawab.
Saya melihat bahwa metode demokrasi
sekarang ini terlalu berneko – neko, dan tidak konsisten. Kemudian dari jumlah
partai sudah begitu banyak sehingga dengan banyaknya partai hanya akan menguras
uang negara. Saya pikir di Indonesia tidak usah terlalu banyak partai, cukuplah
2 (dua) atau 3 (tiga) partai. Dengan sedikitnya partai, itu lebih elegan dan
efesien untuk memanage sistem pemerintahan di Indonesia. Tidak membuang – buang
waktu dan juga tidak membuang – buang uang. Dengan sedikitnya partai akan melahirkan pemimpin atau wakil
rakyat yang ideal sehingga negara indonesia akan menjadi negara maju, mandiri,
dan aman sentosa.
Demokrasi
yang dipraktekan dewasa ini belum menyentuh keinginan masyarakat banyak, juga
belum terlalu ideal bahkan jauh dari panggang. Tetapi dengan penyerdehanaan
partai politik tentunya akan melahirkan partai politik yang bersih dan mau
bekerja sama untuk kemudian berpihak kepada masyarakat banyak, bukan
memperjuangkan kepentingan kelompok apalagi pribadi. Kita melihat di negara –
negara yang sudah maju. Seperti Amerika, Cina, Inggris, dan Australia.
Indonesia
sudah mengalami tiga transisi politik pemerintahan kepemimpinan dari Orde Lama
(ORLA), Orde Baru (ORBA), dan Reformasi. Dan belum menyentuh keinginan
masyarakat, semuai itu disebabkan carut – marutnya sistem pemerintahan yang
tidak elok, dan demokrasi yang tidak sehat sehingga masyarakat yang menjadi
tameng dari kaum elit yakni mereka – mereka yang duduk di kursi emas. Ironisnya
mereka raja – raja yang mementingkan pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Dan
masyarakat di abaikan, ibarat ayam kehilangan induknya.
Sekarang
ini, kita dihadapkan dengan jaman reformasi. Dimana jaman global ini menuntut
kita untuk kemudian kita rumuskan secara gampang untuk kemudian menurunkan
ideologi pancasila dari tataran pemikiran, doktriner, dan pandangan hidup,
sehingga menjadi realitas nyata dalam berbangsa dan bernegara. Dan marilah kita
kembalikan negara indonesia kepada 5 (lima) sila pancasila yang dimana saya
melihat bahwa lima sila sangat cocok untuk dijadikan sebagai acuan, referensi,
dan pedoman sebagai warga negara indonesia.
Kita
kembali merefleksi kepemimpinan nabi Saw. Yang dimana beliau memimpin
masyarakat sebagai rasul dan pemimpin negara. Nabi Muhammad Saw menunjukan dan
memperlihatkan musyawarah yang baik kepada sahabatnya untuk menentukan strategi
peperangan yang akan dihadapi. Demikian juga setelah nabi Muhammad Saw, wafat,
kita juga di beri contoh tentang pelaksanaan penentuan pengganti Nabi yang
dilakukan melalui musyawarah. Sebagai warga negara indonesia, seharusnya kita
berdemokrasi dengan benar sesuai dengan amanah UUD 1945.
Saya
melihat bahwa demokrasi merupakan buatan manusia sehingga demokrasi kotemporer
ini pincang bahkan saya bisa katakan bahwa demokrasi tidak sempurna. Namun
bolong – bolong demokrasi itu, justru dapat diisi dengan pandangan, wawasan,
dan nilai – nilai agama, maka demokrasi harus berhenti. Itulah menurut
pemahaman saya mengenai demokrasi sesuai Al-Quran.